Kamis, 17 Mei 2012

KERUNTUHAN ARTHUR ANDERSEN



Arthur Andersen merupakan firma akuntansi  terbesar di AS dan termasuk dalam The Big Five, sejak Juli 1988. Pada awalnya perusahaan ini memiliki reputasi yang bagus dalam hal independensi, integritas, etika dan kepercayaan sebagai firma yang mengaudit perusahaan publik, seperti Enron, WorldCom, Merck, dan lainnya. Akan tetapi, setelah terkuaknya skandal-skandal besar membuat firma ini kehilangan kepercayaan publik dan akhirnya hancur. Skandal-skandal tersebut antara lain :
BFA
Skandal Baptist Foundation of Arizona (BFA) menjadi kebangkrutan terbesar perusahaan amal nirlaba dalam sejarah AS, dimana Andersen bertindak sebagai auditornya. Mereka dianggap menipu investor sebesar $570 juta. Lembaga ini didirikan untuk menghimpun dana, bekerja seperti bank, membayar bunga deposito yang digunakan sebagian besar untuk berinvestasi di Arizona real estate. Masalah dimulai ketika pasar real estate mengalami penurunan, dan manajemen dituntut untuk menghasilkan keuntungan. Karenanya, pengurus yayasan diduga menyembunyikan kerugian  dari investor sejak 1986  dengan menjual beberapa properti dengan harga tinggi kepada entitas-entitas yang telah meminjam uang dari ayyasan yang tak mungkin membayar properti kecuali kondisi pasar real estate berbalik. Dalam dokumen pengadilan apa yang disebut dengan “skema Ponzi” setelah kasus peniupuan yang terkenal, pejabat yayasan diduga mengambil uang dari investor baru untuk membayar investor yang sudah ada untuk menjaga arus kas. Sementara itu, pejabat puncak menerima gaji. Skema ini akhirnya terurai, mengarah pada investigasi kriminal dan tuntutan terhadap BFA dan Andersen. Akhirnya, yayasan mengajukan petisi Bab 11 mengenai perlindungan kebangkrutan pada tahun 1999. Gugatan investor terhadap Andersen menuduh perusahaan ini melakukan pemalsuan dan menyesatkan laporan keuangan BFA. Dalam sebuah pernyataannya di tahun 2000, Andersen merespon rasa simpatinya kepada BFA tetapi membela keakuratan dengan opininya tentang audit. Namun setelah dua tahun penyelidikan, laporan menunjukkan bahwa Andersen sudah diperingatkan kemungkinan kegiatan penipuan oleh beberapa karyawan BFA, yang akhirnya perusahaan setuju untuk membayar $217 juta untuk menyelesaikan gugatan dengan pemegang saham pada taun 2002.
Sunbeam
Masalah Andersen dengan Sunbeam bermula dari kegagalan audit yang membuat kesalahan serius pada akuntansinya yang akhirnya menghasilkan tuntutan class action dari investor Sunbeam. Baik dari gugatan hukum dan perintah sipil yang diajukan SEC menuduh Sunbeam membesar-besarkan penghasilan melaului strategi penipuan akuntansi, seperti pendapatan “cookie jar”, recording revenue on contingent sales, dan mempercepat penjualan dari periode selanjutnya ke kuartal masa kini. Perusahaan juga dituduh melakukan hal yang tidak benar melakukan transaksi “bill-and-hold”, dimana menggembungkan pesanan bulan depan dari pengiriman sebenarnya dan tagihannya. Akibatnya, Sunbeam dipaksa menyatakan kembali laporan keuangan selama enam kuartal. SEC juga menuduh Arthur Andersen. Pada 2001, Sunbeam mengajukan petisi kepada Pengadilan kepailitan AS Distrik Selatan New York dengan Bab 11 Judul 11 tentang aturan kebangkrutan. Agustus 2002, pengadilan memutuskan pembayaran sebesar $141 juta. Andersen setuju membayar $110 juta untuk menyeleaikan klaim tanpa mengakui kesalahan dan tanggung jawab. Sunbeam mengalami kerugian pemegang saham sebesar $4,4 miliar dan kehilangan ribuan karyawannya. Sunbeam terbebas dari kebangkrutan.
Waste Management
Andersen juga terlibat dalam pengadilan atas data akuntansi yang dipertanyakan mengenai pendapatan yang berlebih sebesar $1,4 miliar dari Waste Management. Gugatan diajukan oleh SEC atas penipuan laporan keuangan selama lebih dari lima tahun. Menurut SEC, Waste Management membayar jasa audit kepada Andersen, yang menyarankan bahwa bisa memperoleh biaya tambahan melalui “tugas khusus”. Awalnya Andersen mengidentifikasi praktek-praktek akuntansi yang tidak tepat dan disajikan kepada Waste Management. Namun pimpinan Waste Management menolak mengkoreksi. Hal ini dilihat oleh SEC sebagai upaya menutupi penipuan masa lalu untuk melakukan penipuan masa depan. Hasilnya, Andersen harus membayar $220 juta ke pemegang saham Waste Management dan $7 juta ke SEC. Andersen dipaksa untuk melakukan perjanjian untuk tidak melakukan laporan palsu di masa mendatang atau izin usahanya akan dicabut – suatu persetujuan yang kemudian memutuskan hubungannya dengan Enron.
Enron
Bulan Oktober 2001, SEC mengumumkan investigasi akuntansi Enron, salah satu klien terbesar Andersen. Dengan Enron, Andersen mampu membuat 80 persen perusahaan minyak dan gas menjadi kliennya. Namun, pada November 2001 harus mengalami kerugian sebesar $586 juta. Dalam sebulan, Enron bangkrut. Departemen Kehakiman AS menmulai melakukan penyelidikan kriminal pada 2002 yang mendorong Andersen dan kliennya runtuh. Perusahaan audit akhirnya mengakui telah menghancurkan dokumen yang berkaitan dengan audit Enron yang menghambat putusan. Atas kasus itu, Nancy Temple, pengacara Andersen meminta perlindungan Amandemen Kelima yang dengan demikian tidak memiliki saksi. Banyak pihak yang menamainya sebagai “bujukan koruptif” yang menyesatkan. Dia menginstruksikan David Duncan, supervisor Andersen dalam pengawasan rekening Enron, untuk menghapus namanya dari memo yang bisa memberatkannya. Pada Juni 2005, pengadilan memutuskan Andersen bersalah menghambat peradilan, menjadikannya perusahaan akuntan pertama yang dipidana. Perusahaan setuju untuk menghentikan auditing publik  pada 31 Agustus 2002, yang pada prinsipnya mematikan bisnisnya.
WorlCom
Tuduhan penipuan tidak berakhir pada kasus Enron. Berita segera muncul ketika WorldCom, klien terbesar Andersen, memiliki penyimpangan sebesar $3,9 miliar. Harga sahamnya kemudian jatuh dan investor melayangkan serangkaian tuntutan hukum yang mengirim WorldCOm ke Pengadilan Kepailitan. Andersen menyalahkan WorldCom dan bersikeras bahwa penyimpangan tidak pernah diungkapkan kepada auditor dan bahwa ia telah memenuhi standar SEC dalam auditnya. WorldCOm balik menuduh Andersen karena gagal menemukan penyimpangan yang ada. Selama kasus Enron dan WorldCOm berlanjut, banyak perusahaan-perusahaan lainnya dituduh melakukan penyimpangan akuntansi.

Dari skandal di atas, dapat disimpulkan bahwa penyebab hancurnya Arthur Andersen adalah :
  • Adanya pelanggaran terhadap norma etika corporate governance dan corporate responsibility akibat perilaku manajemen yang tidak sehat yang merupakan pelanggaran terhadap kepercayaan perusahaan.
  • Adanya pemalsuan informasi. Seperti dalam kasus Enron, Arthur Andersen dan Enron sama-sama mengetahui bahwa praktek akuntansi dan bisnis tersebut tidak sehat. Akan tetapi Andersen tidak mau menyebutkan apa yang sebenarnya terjadi dan Enron masih tetap dipertahankan dengan berbagai manipulasi keuangan.
  • Tidak hanya melakukan manipulasi laporan keuangan, Andersen juga telah melakukan tindakan yang tidak etis, dalam kasus Enron adalah dengan menghancurkan dokumen-dokumen penting yang berkaitan dengan kasus Enron. Arthur Andersen telah sengaja memusnahkan dokumen sejak kasus Enron mulai terkuak sampai adanya panggilan dari pengadilan. Pemusnahan dokumen ini dianggap melanggar hukum dan menyebabkan hilangnya kepercayaan atas profesionalitas Andersen, meskipun tindakan tersebut berdasarkan kebijakan internal Andersen. 

Bukti bahwa budaya perusahaan Andersen berkontribusi terhadap kejatuhan perusahaan
Ada beberapa poin yang membuktikan bahwa budaya perusahaan berkontribusi terhadap kejatuhan perusahaan, diantaranya:
  • Pertumbuhan perusahaan dijadikan prioritas utama dan menekankan pada perekrutran dan mempertahankan klien-klien besar, namun mutu dan independensi audit dikorbankan.
  • Standar-standar profesi akuntansi dan integritas yang menjadi contoh perusahaan-perusahaan lainnya luntur seiring motivasi meraup keuntungan yang lebih besar.
  • Perusahaan terlalu fokus terhadap pertumbuhan, sehingga tanpa sadar menghasilkan perubahan mendasar dalam budaya perusahaan. Perubahan sikap lebih memprioritaskan mendapatkan bisnis konsultasi yang memiliki pertumbuhan keuntungan lebih besar lebih tinggi dibanding menyediakan layanan auditing yang obyektif yang merupakan dasar dari awal mula berdirinya Kantor Akuntan Publik Arthur Andersen. Pada akhirnya ini menggiring pada kehancuran perusahaan.
  • Andersen menjadi membatasi pengawasan terhadap tim audit akibat kurangnya check and balances yang bisa terlihat ketika tim audit telah menyimpang dari kebijakan semula.
  • Sikap Arthur Andersen yang memusnahkan dokumen pada periode sejak kasus Enron mulai mencuat ke permukaan, sampai dengan munculnya panggilan pengadilan. Walaupun penghancuran dokumen tersebut sesuai kebijakan internal Andersen, tetapi kasus ini dianggap melanggar hokum dan menyebabkan kredibilitas Arthur Andersen hancur. Akibatnya, banyak klien Andersen yang memutuskan hubungan dan Arthur Andersen pun ditutup.

Referensi :



TAX HOLIDAY


Tax holiday mempunyai arti pembebasan membayar pajak bagi pengusaha dalam masa tertentu. Pemerintah biasanya memberikan tax holiday sebagai stimulus fiskal untuk menarik investor dari luar negeri untuk berinvestasi. Investasi ini diharapkan dapat mendorong pengembangan industri di daerah. Dengan kata lain, negara akan mendapatkan manfaat dalam bentuk pengembangan infrastruktur. Pemberian tax holiday diharapkan mampu mendorong kegiatan pada sektor-sektor industri hulu. Sebab, kegiatan di sektor hulu akan sulit berjalan sempurna tanpa ada fasilitas tax holiday. Para investor juga dikhawatirkan hengkang dan memindahkan kegiatan investasinya ke negara-negara lain yang menawarkan sejumlah sweeteners yang menggiurkan. Pemberian tax holiday juga dimaksudkan untuk mendorong arus perubahan capital inflow yang sekarang ini membanjiri Indonesia ke arah foreign direct investment. Capital inflow yang ada sekarang ini lebih banyak diparkir pada instrumen yang menjanjikan return cukup besar, seperti penempatan pada Sertifikat Bank Indonesia (SBI), Surat Utang Negara (SUN) maupun pasar saham. Di satu sisi, capital inflow ini berdampak positif pada pengendalian nilai tukar rupiah. Di sisi lain capital inflow perlu diwaspadai karena dapat saja sewaktu-waktu pindah ke negara lain. Dalam rangka memaksimumkan manfaat capital inflow ke Indonesia dan dalam rangka mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas, pemerintah perlu mengarahkan capital inflow menjadi foreign direct investment (investasi langsung asing). Sejumlah sweeteners tentu diperlukan, dan salah satu bentuk yang dapat ditawarkan adalah pemberian tax holiday.
         Sanyoto Sastrowardoyo (1992) menyatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi investasi dapat dilihat dari dua faktor, yaitu faktor dalam negeri dan faktor luar negeri. Faktor dalam negeri dapat dibedakan menjadi faktor ekonomi dan faktor non ekonomi. Faktor ekonomi terdiri dari pertumbuhan ekonomi dalam negeri yang direfleksikan produk domestik brutonya, tabungan nasional, pajak dan fasilitas perpajakan yang diberikan, tersedianya sumber daya alam yang melimpah dan tersedianya upah sumber daya manusia yang kompetitif (murah). Sedangkan faktor non ekonomi terdiri dari kondisi stabilitas politik dan kebijakan deregulasi dan debirokrasi yang mengairahkan iklim investasi. Sedangkan faktor luar negeri yg mempengaruhi perkembangan investasi antara lain apresiasi nilai tukar negara investor berasal, pencabutan Generalized System of Preferences (GSP) terhadap 4 negara industri baru (NIB) Asia (meliputi Korea Selatan, Taiwan, Hongkong dan Singapura), dan meningkatnya biaya produksi di luar negeri terutama di NIB.
         Tax holiday pernah diberlakukan di Indonesia, dengan diterbitkannya UU No 1 Tahun 1967 jo UU No 11 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA). Mungkin dengan alasan kurang efektif, melalui UU No 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan yang berlaku sejak 1 Januari 1984, ketentuan tentang tax holiday dicabut. Sebagai ganti pemerintah menerapkan ketentuan umum perpajakan yang memberikan sejumlah kemudahan. Namun, dalam perjalanannya, melalui UU No 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal muncul lagi pengaturan tentang pembebasan pajak. Dalam rangka menarik investasi asing ke Indonesia dan mengubah orientasi capital inflow menjadi foreign direct investment, wacana pemberian tax holiday memang layak dipertimbangkan. Dengan demikian, Indonesia mampu bersaing dg negara tetangga. Namun, terdapat beberapa hal yg harus dipertimbangkan. Pertama, dalam rangka menarik investasi dari luar, pemerintah telah membentuk Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). Kebijakan ini telah diamanatkan dalam UU No 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Ketentuan mengenai Kawasan Ekonomi Khusus diatur dengan UU (pasal 31 ayat (3). Kedua, kegagalan tax holiday sebagai pendorong masuknya foreign direct investment
pada 1967-1983 mungkin saja disebabkan aliran modal asing pada masa tersebut memang sangat kecil. Sementara itu banyak sekali negara yang memperebutkannya. Saat ini situasinya sangat berbeda karena capital inflow ke Indonesia cukup besar. Untuk mempertahankan capital inflow diperlukan cost (biaya) cukup besar. SUN dan SBI harus tetap menarik. Akibatnya, kredit tak pernah turun yang ujung-ujungnya sektor riil kesulitan mencari dana murah.